Santri Itu Teladan, Berakhlak dan Berbudi Pekerti

Memperingati hari santri nasional pada tanggal 22 Oktober dan bertepatan pada hari Minggu ini tanggal 22 Oktober 2017. Mencoba kilas balik 8 tahun ke belakang. Teringat dimana masih polosnya aku tentang ilmu Agama (sekarangpun malah kerasa fakir ilmunya). Fyi, aku dulu pernah nyantri di pondok dimana pengasuh pondok tersebut juga seorang dosen atau kaprodi Tarbiyah di sebuah kampus. Bukan pula kebetulan mengapa aku bisa nyantri. Memang dari keinginan ibu dan juga aku yang belum kepikiran mau meneruskan bangku sekolah (SMP) dimana pada saat itu. Mendapat rekomendasi untuk masuk sekolah berstandar nasional pada zamannya, waktu itu ada beberapa sekolah yang mendapat status berstandar nasional. Salah satunya SMP yang akhirnya menjadi tujuanku, walau tersirat juga menyimpan beberapa cadangan tujuan sekolah barangkali belum rezekinya disitu. Sebenarnya niat masuk sekolah SMP itu tak terfikirkan, kadang niat kadang niat-niatan. Hal yang menjadi keherananku ketika aku tak terlalu berambisi terhadap suatu hal, pasti Allah dengan lancarnya memberikan sesuatu itu kepada hambanya ini. Syukron Ya Rabb.

Waktu itu aku mendaftar terlambat, ujianpun terlambat, juga selesai paling akhir dan Alhamdulillah lulus bisa masuk sebagai anak didik di SMP tersebut. Uniknya lagi ketika MOS pun aku selalu paling aneh sendiri, kadang terlambat kadang paling “gasik” sendiri. Aku sudah diterima di sekolah disini, jadi semua cadangan tujuan sekolahku sudah tak terfikirkan lagi. Tinggal fokus mencari tempat untuk mencari ilmu agama sekaligus untuk istirahat. Mendapat saran lagi dari seorang guru di SMP, ada pondok yang baru didirikan belum lama ini, barangkali mau di tempat pondok tersebut. Tanpa pikir panjang, dari sekolah langsung menuju ponpes yang dimaksud. Ibu ridho akupun senang, akhirnya bismillah mencari ilmu agama di ponpes yang berjarak 500 meter dari sekolah. Tak apa pikirku, jalan kaki ke sekolah itu menyenangkan, lagipula aku berangkat sekolah waktu SD selalu jalan kaki.

Ibarat wadah yang baru sedikit terisi, akupun siap untuk menampungnya lagi. Masih baru beberapa santri saja yang ada di ponpes ini. Kuingat mungkin baru 10 anak ditambah 6 pengurus. Sangat fresh dan tenang untuk menggali ilmu Agama karena pondoknya dikelilingi sawah. Kami adalah angkatan pertama di ponpes ini. Bergotong royong membangun pondok bersama-sama dari segi SDM. Walau kadang gerombolan santri anak-anak sekolah sering membuat rusuh di pondok. Tak menjadi penghalang, memanglah begini kami yang masih puber, kadang nurut kadang nyeleweng dan benar-benar banyak nyelewengnya. Hingga waktu itu kami sering kena ta’dzir oleh pengurus, ta’dziran itupun tak membuat kami jera. Sering kami ulangi terus dan terus, sampai pengasuh pondok yang akhirnya harus turun tangan. Apa yang membuat kami kena ta’dzir sebenarnya bukan masalah yang serius, memang pelanggaran yang lazim tingkah lakunya anak-anak. Seperti lupa tadarus, kebablasan tidur, bikin rusuh ketika ada yang ulang tahun dll. Kuingat lagi ketika aku kena ta’dzir karena ketauan bercakap dengan Gus pondok, disini bukan karena kemauanku sendiri, tapi karena komporan dari teman-temanku. Aku terjebak oleh teman-temanku sendiri, SiGus menyatakan perasaan kepadaku, ingin rasanya aku berlari kencang dan menjauh sejauh jauhnya. Habis kena ta’dzir langsung sholat tobat, minta ampun “sekemeng-kemengnya”. Seringnya kami kena ta’dzir tak membuat kami menjadi seorang anak yang bandel, malah hal ini mendekatkan kami kepada para pengurus, guru dan pengasuh. Hingga kita menjadi faham bagaimana menjadi santri ta’dzim kepada guru, menjadi tawadhu, lebih disiplin, menjaga sopan santun dan lebih mandiri.

1 tahun, 2 tahun, 3 tahun akhirnya aku lewati penuh kebersamaan dan suka cita dengan santri-santri yang lain. Belum banyak ilmu agama yang aku peroleh, masihlah secuil ujung diujung kuku, ilmu yang masih sangat dasar. Sebagai santri angkatan pertama, pastilah kami mempunyai banyak memori, dari awal berdiri beberapa kamar pondok, sampai sekarang sudah mempunyai 2 gedung santri putra dan santri putri. Memori tentang kondisi santri-santri pada zamannya yang masih sangat banyak keluar masuk karena tidak betah. Di ponpes yang berstatus sekolah SMP ada 6 termasuk aku. Dari kita berenam yang masih sekolah di SMP hanya akulah seorang, lainnya di MTs. Sering menjadi pusat perhatian baik pengurus maupun pengasuh, karena aku memanglah beda dari kawanku yang 5 itu. Mungkin karena tak banyak tingkah polah dan selalu nurut dengan pengurus, guru serta pengasuh pondok dan sedikit berprestasi.

Santri itu teladan, berakhlak dan berbudi pekerti. Ada banyak yang ingin aku ceritakan selama 3 tahun aku di ponpes. Dan aku ingin bercerita tentang 1 orang, ialah temanku. Temanku ini sebut saja Mbak Nur, saat itu dia sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah, di kampus yang sama dengan pengasuh pondok. Dia selalu menjadi tolak ukurku menjadi seorang santri, menjadi teladanku, aku selalu mencoba meniru sikapnya yang super duper tawadhu’nya. Sebagai seorang perempuan, mungkin dialah seorang wanita yang begitu lembut, sopan santun, sikap keibuannya, perhatiannya, ta’dzimya kepada guru, istiqomah dan sangat sangat tawadhu’ serta begitu sederhana. Tak pernah ku lihatnya berpakaian yang nyeleneh, selalulah berpakaian atas yang dibawah lutut dengan kerudung yang menjuntai panjang sampai menutup seluruh dada. Diam-diam aku mengamatinya, mencoba meniru keistiqomahannya. Dia selalu menjalankan apa yang menjadi sunah Nabi. Ketika ku tidur disampingnya, pasti selalu ada ritual sebelum tidur, ketika makan pasti menggunakan 3 jari yang kadang selalu membuat aku tertawa terpingkal ketika aku mencoba menirunya, karena pasti jadi gagal makan dan pindah haluan memakai sendok agar lekas selesai.  Tidak juga kulihat sisi kejelekannya, dia selalu tekun menjalankan ibadah, ketika marah pun selalu memendamnya. Bahkan ketika aku tahu dia sedang marah hanya sebentar itupun dengan wajah yang merah padam dan selalu mencari tempat sepi untuk meredamkan kemarahannya. Tindak tanduknya tak pernah membuatku untuk tidak berkata “SubhanAllah”. Sampai kini dialah yang selalu menjadi teladanku lewat memori-memori yang masih tersimpan ketika nyantri bareng dulu. Yang kusayangkan adalah aku tak menyimpan nomor kontaknya. Mbak Nur memang jarang sekali untuk buang-buang waktu menggunakan Hape atau semacamnya, hanyalah ketika perlu saja, itupun cepat. Semoga suatu saat bisa reuni.


Selamat Hari Santri Nasional 😊

Comments

Popular posts from this blog

Grafika Komputer

Tradisi Ruwatan Rambut Gembel Dieng, Wonosobo